Beliau adalah seorang bangsawan yang
tergolong trah Ahlul Baiti Rasulullah Saw. dengan nasab dari Siti Fatimah dan
Sayyidina Ali bin Abi Thalib Karramallaahu Wajhahu (ba’Alawi / Alawiyyin) dari
garis Sayyidina Hasan (Al Hasany). Beliau keturunan ke 24 dari Rasulullah Saw.
lengkapnya adalah : Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar bin Ahmad bin Muhammad bin
Salim bin Al ‘iid bin Salim bin Ahmad Al Alwany bin Ahmad bin Ali bin Abdillah
bin Abbas bin Abdil Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Zainal ‘Abidin bin Ahmad bin
Muhammad An Nafsiz Zakiyyah bin Abdullah al Kamil bin Hasan Al Mutsanna bin
Hasan As Sibti bin Ali bin Abi Tholib dari Sayyidah Fatimah Al Zahra Al Batul
binti Rasulullah Saw.
Ibu beliau adalah seorang wanita shalihah, Sayyidah Aisyah binti Sayyid Al
Jalil Abi Abdullah bin Sanusi At Tijany Al Madhowi, Al Madhowi bernisbat pada
desa Ain Al Madi sebuah desa yang terkenal di Gurun Sahara timur kota Maroko di
Magribil Aqsha ( Afrika barat)
Oleh Dr. KH. Ikyan Badruzzaman
Ijtima Wadzifah Hailalah (IWH) adalah kegiatan berdzikir lailaha illallah
secara berjama’ah. Ini adalah amalan lazim Tarekat Tijaniyah. IWH dilaksanakan
setiap hari Jum’at Ba’da Ashar sampai Magrib. IWH telah dimulai sejak masa
kepemimpinan KH. Ismail Badruzzaman sebagai konsolidasi kepemimpinan. Pada saat
itu penyelenggaraannya masih sangat terbatas yakni di tempat Tarekat Tijaniah
generasi awal seperti Al-Falah Biru, Cimencek, Mulabaruk, Cisanca dengan
kehadiran jamaah sekitar 1.000-2.000 orang. Materi ceramah yang dikemukakan
dalam ijtima tersebut belum meyentuh substansi ajaran tarekat tetapi masih
membicarakan hal-hal umum seperti kaitan Tarekat Tijaniah dengan syari’at dan
sekitar pembicaraan tentang berkah mengikuti ajaran wali dalam hal ini Tarekat
Tijaniyah selebihnya materi-materi umum yang tidak bersentuhan langsung dengan
Tarekat Tijaniyah. Tidak heran pada waktu jamaah mempersepsi ajaran Tarekat
Tijaniyah sebagai amalan littabaruk dan cenderung tidak mengikatkan diri dengan
ketentuan-ketentuan tarekat.
Setelah dikaji kitab yaqutatulfaridah disosialsasikan melalui IWH yang
dirasakan muncul sebuah keberkahan dalam bentuk pengembangan jamaah dimana
ijtima pada tahap ini melintasi lingkup daerah-daerah Tijaniah pada basis awal
dan ijtima dilakukan antar kecamatan di Kab. Garut bahkan antar kabupaten
seperti ijtima di Masjid Agung Garut, Mesjid Besar Kodya Bandung dan
Taikmalaya. Melalui IWH inilah Tarekat Tijaniyah berkembang pesat. Sampai
sekarang ijtima tidak kurang diikuti sekitar 5.000-10.000 jamaah dari total
jamah sekitar 20.000 yang meliputi Garut dan Bandung. Orang yang meliputi kab.
Garut yang tersebar hampir disetiap kecamatan. Melalui ijtima dimaksud secara
langsung atau tidak langsung diajarkan tentang Tarekat Tijaniyah dan ini
menarik orang untuk ingin tahu dan selanjutnya mengikuti amalan Tarekat
Tijaniyah. Melihat pekembangan jamaah yang meluas melintasi basis-basis wilayah
utama dirasakan pentingnya memuncukan suatu wadah untuk melakukan pembinaan
berlajut menyangkut berbagai sektor kejamaahan, maka dimunculkan wadah
kekhalifahan Tarekat Tijaniyah.
DR. KH. Ikyan Badruzzaman
Sekilas tentang Syekh Ahmad al-Tijani
Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain Madi,
sebuah desa di Al-Jazair.
Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki nasab sampai kepada Rasulullah
saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab
Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn
Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn
Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah al-Kamil Ibn Hasan
al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari Sayyidah Fatimah
al-Zahra putri Rasuluullah saw. Beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal
tahun 1230 H., dan dimakamkan di kota Fez Maroko.
Biografi Syekh Ahmad al-Tijani
• Fase menuntut Ilmu
Sejak umur tujuh tahun Syekh Ahmad al-Tijani telah hafal al-Qur’an dan sejak
kecil beliau telah mempelajari berbagai cabang ilmu seperti ilmu Usul, Fiqh,
dan sastra. Dikatakan, sejak usia remaja, Syekh Ahmad al-Tijani telah menguasai
dengan mahir berbagai cabang ilmu agama Islam, sehingga pada usia dibawah 20
tahun beliau telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama.
• Fase Menuntut Ilmu Tasawuf
Pada usia 21 tahun, tepatnya pada tahun 1171 H. Syekh Ahmad al-Tijani pindah ke
kota Fez Maroko. untuk memperdalam ilmu tasawuf. Selama di Fez beliau menekuni
ilmu tasawuf melalui kitab Futuhat al-Makiyyah, di bawah bimbingan al-Tayyib
Ibn Muhammad al-Yamhalidan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali. Al-Wanjali
mengatakan kepada Syekh Ahmad al-Tijani : اَنَّكَتُدْرِكَمَقَامَالشَّاذِلِى “Engkau akan mencapai maqam kewalian sebagaimana maqam
al-Syazili”” . Selanjutnya beliau menjumpai Syekh Abdullah Ibn Arabi
al-Andusia, dan kepadanya dikatakan : “اللهُيَأخُذُبِـيَدِكَ. (Allah yang membimbingmu); “Kata-kata ini di ulang sampai tiga
kali”. Kemudian beliau berguru kepada Syekh Ahmad al-Tawwasi, dan mendapat
bimbingan untuk persiapan masa lanjut. Ia menyarankan kepada Syekh Ahmad
al-Tijani untuk berkhalwat (menyendiri) dan berzikir (zikr) sampai Allah
memberi keterbukaan (futuh). Kemudian ia mengatakan : “Engkau akan memperoleh
kedudukan yang agung (maqam ‘azim)”.
• Fase Pengidentifikasian Diri
Ketika Syekh Ahmad al-Tijani memasuki usia 31 tahun, beliau mendekatkan diri
(taqarrub) kepada Allah swt., melalui amalan beberapa thariqat. Thariqat
pertama yang beliau amalkan adalah thariqat Qadiriyah, kemudian pindah
mengamalkan thariqat Nasiriyah yang diambil dari Abi Abdillah Muhammad Ibn
Abdillah, selanjutnya mengamalkan thariqat Ahmad al-Habib Ibn Muhammaddan
kemudian mengamalkan thariqat Tawwasiyah. Setelah beliau mengamalkan beberapa
thariqat tadi, kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren sufi) Syekh Abd
al-Qadir Ibn Muhammad al-Abyadh.
Pada tahun 1186 H. Beliau berangkat ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah
haji. Ketika beliau tiba di Aljazair, beliau menjumpai Sayyid Ahmad Ibn Abd
al-Rahman al-Azhari seorang tokoh thariqat Khalwatiah, dan beliau mendalami
ajaran thariqat ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunise dan menjumpai seorang
Wali bernama Syekh Abd al-Samad al-Rahawi. Di kota ini beliau belajar thariqat
sambil mengajar tasawuf. Diantara buku yang diajarkannya adalah kitab al-Hikam.
Kemudian beliau pergi ke Mesir. Di negeri ini beliau menjumpai seorang sufi
yang sangat terkenal pada waktu itu yakni Syekh Mahmud al-Kurdi, ia seorang
tokoh thariqat khalwatiyah. Dari tokoh ini Syekh Ahmad al-Tijani menyempurnakan
ajaran thariqat Kholwatiyahnya. Dalam perjumpaan pertama dengan Syekh Mahmud
al-Kurdi, kepada Syekh ahmad al-Tijani dikatakan: (أنتمحبوبعنداللهفيالدنياوالاخرة ) Engkau
kekasih Allah di dunia dan di akherat” lalu ia Al-Tijani bertanya (مناينلكهدا ) “Dari mana pengetahuan ini
?” Jawab Al-Kurdi ( منالله ) “Dari Allah”.
Setelah beberapa hari Syekh Mahmud al-Kurdy bertanya kepada Syekh Ahmad : “(مامطلبك؟) Apa cita-citamu ?” Jawab Syekh Ahmad Al-Tijani (مطلبيالقطبانـيةلعظمى) “Cita-cita
saya menduduki maqam al-Qutbaniyah al-‘Udzma”. Jawab al-Kurdi (لكاكثرمنها ) “Bagimu lebih dari itu” Berkata Syekh Ahmad Al-Tijani (عليك) “Engkau yang menanggungnya ?”
Jawab al-Kurdi (نعم) “Ya”.
Pada bulan Syawwal tahun 1187 H. Sampailah beliau ke Makkah pada waktu itu di
Makkah ada seorang wali bernama Syekh al-Imam Abi al-Abbas Sayyid Muhammad Ibn
Abdillah al-Hindi. Sewaktu Syekh Ahmad al-Tijani berkunjung kepadanya, ia
mengungkapkan kepada Syekh Ahmad al-Tijani melalui surat lewat khadamnya yang
berbunyi : أنتوارثعلميواسرارىومواهبيوانوارى Artinya : “Engkau pewaris
ilmuku, rahasia-rahasiaku, karunia-karuniaku dan cahaya-cahayaku”
Selesai melaksanakan ibadah haji, Syekh Ahmad al-Tijani terus berziarah ke
makam Rasulullah saw., di Madinah. Di kota ini beliau menjumpai seorang wali
Quthb Syekh Muhammad Ibn Abd al-Karim al-Saman. Dalam salah satu pertemuannya,
dikatakan bahwa Syekh Ahmad al-Tijani akan mencapai maqam kewalian al-Quthb’
al-Jami’. Pertemuan Syekh Ahmad al-Tijani dengan para wali sebagaimana
disebutkan di atas, menunjukan hampir semua wali yang dikunjunginya melihat dan
meyakini bahwa Syekh Ahmad al-Tijani akan mencapai maqam kewalian yang tinggi
lebih dari apa yang dicita-citakannya.
Pada tahun 1196 H., tepatnya ketika Syekh Ahmad al-Tijani berusia 46 tahun,
beliau pergi ke pedalaman Aljazair, yaitu Abu Samghun, yang terletak di padang
Sahara. Disitu beliau melakukan khalwat (kehidupan menyendiri). Di tempat
inilah beliau mengalami pembukaan besar (al-Fath al-Akbar), beliau bertemu
dengan Rasulullah saw., dalam keadaan jaga (yaqzhah). Selanjutnya Syekh Ahmad
al-Tijani ditalqin (dibimbing) istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali,
selanjutnya Rasulullah saw. bersabda kepada Syekh Ahmad Al-Tijani : لامنةلمخلوقعليكمنمشايخالطريقفاناواسطتكوممدكعلىالتخقيق. فاتركعنكجميعمااحذتمنجميعالطريق. الزمهذهالطريقةمنغيرخلوةولااعتزالعنالخلقحتىتصلمقامكالذىوعدتبهوانتعلىحالكمنغيرضيقولاحرجولاكثرةمجاهدةواتركعنكجميعالاولياء.
Artinya : “Tak ada karunia bagi seorang makhlukpun dari guru-guru thariqat atas
kamu. Maka akulah wasithah (perantaramu) dan pemberi dan atau pembimbingmu
dengan sebenar-benarnya (oleh karena itu), tinggalkanlah apa yang kamu telah
ambil dari semua thariqat. Tekunilah thariqat ini tanpa khalwat dan tidak
menjauh dari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikannya
padamu, dan kamu tetap di atas perihalmu ini tanpa kesempitan, tanpa
susah-susah dan tidak banyak berpayah-payah, dan tinggalkanlah semua para
Wali.”
Dua macam wirid sebagaiman telah disebutkan di atas, yaitu : Istighfar 100 kali
dan Shalawat 100 kali berjalan selama 4 tahun dan pada tahun 1200 H., wirid itu
disempurnakan Rasulullah saw., dengan ditambah Hailallah (la Ilaha Illa Allah)
100 kali. Pada bulan Muharram tahun 1214 H. Syekh Ahmad al-Tijani mencapai
maqam kewalian yang pernah dicita-citakannya yakni maqam al-Quthbaniyyat
al-‘Udhma. Dan pada tanggal 18 Safar pada tahun yang sama Syekh Ahmad al-Tijani
mendapat karunia dari Allah swt., memperoleh maqam tertinggi kewalian ummat
Nabi Muhammad yakni maqam al-Khatm wal-Katm atau al-Qutb al-Maktum dan Khatm
al-Muhammadiyy al-Ma’lum.
Dan setiap tanggal dan bulan tersebut murid-murid Syekh Ahmad al-Tijani, di
Indonesia misalnya mensyukuri melalui peringatan ‘Idul Khatmi Lil Qutbil Maktum
Syekh Ahmad al-Tijani Ra. Seperti halnya kita berkumpul disini.
• Fase Pengembangan Dakwah
Di Maroko, Syekh Ahmad al-Tijani dan Maulay Sulaiman (penguasa Maroko)
bekerjasama dalam memerangi khurafat yang menimbulkan kebodohan, kejumudan, dan
kemalasan, sampai beliau dilantik sebagai anggota “Dewan Ulama”.
Dalam keadaan masyarakat yang demikian rusak baik secara moral maupun akidah
Syekh Ahmad al-Tijani menyatakan bahwa : “Pada umumnya masyarakat pada waktu
itu melakukan ziarah kepada wali-wali Allah hanyalah untuk tujuan yang rusak
(agrad fasidat) yakni hanya untuk mengharapkan kesenangan dan syahwat duniawi.”
Dalam posisi inilah Syekh Ahmad al-Tijani menetapkan batasan yang sangat ketat
kepada murid-muridnya dalam melakukan ziarah kepada wali-wali Allah swt., hal
ini dimaksudkan untuk memelihara kemurnian akidah dan kelurusan ibadah.
Upaya Syekh Ahmad al-Tijani dalam melakukan dakwah-dakwah Islam, selain
melaksanakan kerjasama dengan Maulay Sulaiman, beliau juga aktif memimpin
Zawiyah di kota Fez Maroko, sampai wafatnya pada Hari Kamis tanggal 17 bulan
Syawwal tahun 1230 H. Di Kota ini beliau sering dikunjungi orang-orang dari
seluruh Maroko ataupun negara-negara tetangganya, dan membina orang yang
berminat mendalami ajarannya, sampai melantiknya sebagai pemuka Thariqat
Tijaniyah (muqaddam) di daerah masing-masing. Sampai saat menjelang wafatnya
Syekh Ahmad al-Tijani tidak pernah lalai dalam melaksanakan tugas dakwahnya,
beliau selalu aktif memberi petunjuk dan bimbingan kepada ummat Islam, terutama
dalam membina dan mengarahkan murid beliau melalui Zawiyah yang beliau dirikan
maupun melalui surat-surat yang beliau kirim keberbagai lapisan masyarakat
(fukoro, masakin, agniya, pedagang, fuqaha dan umaro).
Berikut sebagian kutipan surat dakwah syekh Ahmad al-Tijani:
“Saya berwasiat pada sendiri dan kalian semua dengan perkara yang telah
diwasiatkan dan diperintahkan oleh Allah swt. Yaitu menjaga batas-batas agama,
melaksanakan perintah ilahiyah dengan segenap kemampuan dan kekuatan.
Sesungguhnya pada jaman sekarang, sendi-sendi pokok agama ilahi telah rapuh dan
ambruk. Baik secara langsung dan global ataupun secara perlahan-lahan dan
rinci. Manusia lebih banyak tenggelam dalam urusan yang mengkhawatirkan, secara
ukhrawi dan duniawinya. Mereka tersesat tidak kembali dan tertidur pulas tidak
terjaga. Hal ini dikarenakan berbagai persoalan yang telah memalingkan hati
dari Allah swt., dan aturan-aturan (perintah dan larangannya). Pada masa dan
waktu kini sudah tidak ada seorangpun yang peduli untuk mejalankan dan memenuhi
perintah-perintah Allah dan persoalan-persoalan agama yang lainnya. Kecuali
orang yang benar-benar ma’rifat kepada-Nya paling tidak orang yang mendekati
sifat tersebut.
Wasiat ini dilatarbelakangi atas keprihatinan terhadap kemunduran ummat Islam,
baik secara akidah maupun ibadah. Sikap ini menunjukan kepedulian Syekh Ahmad
al-Tijani sebagai shahibut thariqah terhadap problematika ummat Islam.
Pada bagian lain dikatakan : Hendaklah kamu sekalian berusaha membiasakan
bersedekah setiap hari jika mampu. Meskipun sekedar uang recehan ataupun sesuap
makanan, disamping tetap menjaga pelaksaan perkara-perkara fardu yang di
wajibkan dalam harta benda, seperti zakat. Sesungguhnya pertolongan Allah swt.,
lebih dekat kepada mereka yang selalu mengerjakan dan menjaga
kewajiban-kewajiban yang bersifat umum/kemasyarakatan.
Pada bagian lain Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan :
“Hendaknya kamu sekalian selalu menjaga silaturahim/menyambung tali
persaudaraan dengan norma-norma yang dapat membuat hati menjadi lapang dan
menimbulkan rasa kasih sayang. Meskipun hanya menyediakan waktu luang dan
memberikan salam. Jauhilah sebab-sebab yang menjadikan kebencian dan permusuhan
di antara sanak saudara, atau perpecahan orang tua dan segala hal yang menyulut
api dendam dalam relung hati sanak saudara”.
“Hendaklah menjauhi segala pembicaraan yang mengorek aib dan kekurangan sesama
muslim. Mereka yang gemar melakukan itu, Allah swt., akan membuka aib/cacat
kekurangannya dan mengoyak kekurangan-kekurangan generasi setelahnya”. Wasiat
ini menegaskan pentingnya membangun kepedulian sosial dan membangun keutuhan
masyarakat, bangsa dan negara. Pada dasarnya, Syekh Ahmad al-Tijani tidak
menginginkan seorang sufi yang hanya memusatkan perhatiannya pada kontemplasi
dan zikir, dan mengabaikan masalah kemasyarakatan. Sufi, sebagaimana ditegaskan
dalam pengamalan thariqat tijaniyah, harus senantiasa aktif berjuang bersama
masyarakat.
Demikianlah sekilas peran dakwah Syekh Ahmad al-Tijani. Lewat ajarannya, dapat
dilihat bagaimana beliau memandang penting arti tampilnya seorang sufi/wali di
tengah masyarakat, hal ini merupakan bentuk lain dari ketaatannya pada Allah
dan Rasul-Nya. Pada masa modern ini, murid tarikat tijaniyah terus aktif
melakukan dakwah Islam, di berbagai kawasan Afrika dan mereka mendirikan
Zawiyah (Pesantren Sufi). Sampai sekarang mereka aktif mengembangkan dakwah
Islam di Amerika, Perancis, dan Cina.
Pada tahun 1987 , Syekh Idris al-‘Iraqi, (muqaddam zawiyah thariqat tijaniyah
Fez, Maroko) berkunjung ke Indonesia, menurut pengakuannya sampai saat ini di
Perancis, terdapat puluhan zawiyah (pesantren sufi) thariqat tijaniyah. Pada
tahun 1985/1406 H., di Kota Fez, Maroko diselenggarakan muktamar thariqat
tijaniyah dan dihadiri utusan dari 18 negara, seperti : Kerajaan
Maroko, Pakistan, Tunisia, Mali, Mesir, Mauritania, Nigeria, Gana, Gambia,
Gina, Pantai Gading, Sudan Senegal, Cina, Amerika Serikat, Perancis dan
Indonesia. Utusan dari Indonesia adalah KH. Umar Baidhowi dan KH. Badri
Masduqi. Pada pembukaan muktamar tersebut, Raja Hasan II (Raja Maroko) berkenan
memberikan sambutan.
Gambaran di atas menunjukan efektifitas metoda tarikat dalam pengembangan
dakwah Islam.
Demikianlah sekilas riwayat hiudp Syekh Ahmad al-Tijani, semoga bermanfaat.
Tarekat Tijaniyah didirikan
oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah
seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah
karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih
menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya
sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk
menyatu dengan Tuhan.At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150/1737 di 'Ain Madi,
bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal
al-Quran dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya
yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada
usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa
tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia
meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun.Pada tahun
1186 (1772 - 1773), dia menuju Hijaz untuk menunaikan ibadah haji, dan meneruskan
belajar di Makkah dan Madinah. Di dua kota Haramain ini, dia lebih banyak
memfokuskan diri untuk berguru kepada banyak tokoh tarekat sufi dan mengamalkan
ajarannya. Di antara tarekat yang dipelajarinya, misalnya Tarekat Qadiriyah,
Thaibiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Di Madinah dia belajar langsung kepada
seorang tokoh sufi, Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman, pendiri tarekat
Sammaniyah, yang mengajarinya ilmu-ilmu rahasia batin. Kemudian dari Makkah dan
Madinah, dia menuju Kairo dan menetap untuk beberapa lama di sana. Pada tahun
1196 (1781 - 1782), atas saran dari seorang syekh sufi yang baru dikenalinya,
dia kembali ke Tilimsan untuk mendirikan tarekat sendiri yang independen. Di
sana at-Tijani mengadakan khalwat khusus, yakni memutuskan kontak dengan
masyarakat sampai mendapatkan ilham (fath/kasyf).Dalam fath yang diterimanya,
dia mengaku bahwa hal itu terjadi dalam keadaan terjaga. Ketika itu, Nabi SAW
mendatanginya dan memberitahukan bahwa dirinya tidaklah berhutang budi pada
syekh tarekat mana pun. Karena menurut dia, Nabi sendiri-lah yang selama ini
menjadi pembimbingnya dalam bertarekat. Selanjutnya, Nabi SAW menyuruh dia
untuk meninggalkan segala sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya berkenaan
dengan tarekat. Bahkan dia juga diberi izin untuk mendirikan tarekat sendiri
disertai wirid yang mesti diajarkan kepada masyarakat, yaitu istighfar dan
shalawat yang diucapkan masing-masing sebanyak 100 kali. Setelah kejadian itu,
ia kembali ber'uzlah di padang pasir dan berdiam di oase Bu Samghun. At-Tijani
tampaknya menghadapi tekanan dari kaum otorita Turki. Di tempat inilah ia
menerima ilham yang terakhir (1200/1786). Dalam fath ini Nabi SAW memberikan
tambahan wirid, yaitu tahlil yang harus diucapkan sebanyak 100 kali. Nabi SAW
juga mengatakan bahwa at-Tijani adalah penunggu yang akan menyelamatkan hamba
Allah yang durhaka. Pada tahun 1213/1798, dia meninggalkan 'uzlahnya dari
padang pasir dan pindah ke Maroko untuk memulai menjalankan misi yang lebih
luas lagi, dari kota Fes. Di kota ini dia diterima baik oleh penguasa Maulay
Sulaiman dan tetap tinggal di sana sampai wafatnya pada 22 September 1815,
dalam usia 80 tahun.Meskipun dia banyak bertarekat dan menjadi muqaddam
khalwatiyah (at-Tijani mempunyai silsilah Khalwatiyah), tetapi pada perkembangan
selanjutnya, yakni setelah menjalani hidup sufistik secara ketat dan keras, dia
kemudian mendirikan tarekat yang independen, yang diyakini atas izin Nabi
SAW.Tarekat yang didirikan at-Tijani ini agak unik dan sedikit banyak berbeda
dengan tarekat-tarekat lain terutama soal silsilahnya. Misalnya dari Syekh
Ahmad, sang pendiri, langsung kepada Nabi SAW, melintas jarak waktu 12 abad.
Begitu juga anggota tarekat ini bukan hanya tidak dibenarkan untuk memberikan
bait 'ahd kepada syekh mana pun, tetapi juga melakukan dzikir untuk wali lain
dan dirinya serta wali-wali dari tarekatnya. Menurut at-Tijani, Tuhan tidak
menciptakan dua hati dalam hati manusia, dan oleh karenanya tak seorang pun
dapat melayani dua orang mursyid sekaligus. Lagi pula, bagaimana mungkin
seorang salik akan bisa sempurna menempuh suatu jalan, sedangkan pada waktu
bersamaan ia juga sedang menampuh (mengambil) jalan lain?Sejak tinggal di kota
Fes ini, at-Tijani lebih berkonsentrasi pada pengembangan tarekatnya sendiri.
Sebagai seorang syekh tarekat yang berpengaruh dia berkali-kali diajak oleh
penguasa negeri itu untuk bergabung dalam urusan politik. Namun, dia tetap
menolak. Sikapnya inilah yang membuat dia semakin disegani, dicintai, dan
dihormati, baik oleh penguasa setempat maupun oleh masyarakat sekitarnya. Lebih
dari itu, pihak penguasa Maulay Sulaiman, meski permintaannya ditolak, tetap
memberikan berbagai hak istimewa kepadanya.Semula tarekat yang dipimpin
at-Tijani ini mendapatkan pengikut di Maghribi karena kecamannya terhadap ziarah
ke makam para wali dan mawsin yang populer pada waktu itu. Namun karena
perekrutan untuk menjadi muqaddam yang ditetapkan oleh at-Tijani agak longgar,
misalnya dengan menunjuk sebagai muqaddam-muqaddam siapa pun yang melakukan
bai'at, tanpa mengharuskan latihan selain dalam hukum dan aturan-aturan ritual,
dengan tekanan utama pada ditinggalkannya semua ikatan dengan syekh-syekh lama
kecuali dirinya. Sehingga setelah at-Tijani wafat, agen-agen tadi telah
tersebar luas dan dengan sebuah sistem yang mendukungnya membuat dia mempunyai
kekuatan penuh. Tarekat ini dengan segera menyebar luas dari Maghribi hingga
Afika Barat, Mesir dan Sudan. Aktivistas gerakan Tarekat Tijaniyah terbukti
sangat positif dan militan. Seperti halnya para pengikut tarekat Qadariyah dan
Syadziliyah, para murid tarekat ini berjasa menyebarluaskan Islam ke berbagai
kawasan Afrika.Menurut Coppolani, mereka menyiarkan Islam di kalangan pemeluk
animisme dengan persaudaraan-persaudaraan sufi lainnya dan berada di garis
terdepan dalam melakukan perlawanan terhadap ekspansi kolonialisme. Dari
at-Tijani lalu diwakili oleh tokoh lainnya seperti al-Hajj Umar di Sudan Barat.
Di Republik Turki, sebuah kelompok kecil penganut Tarekat Tijaniyah, adalah
orang-orang muslim pertama yang secara terbuka menetang rezim sekulerisme
sekitar tahun 1950. Tarekat ini mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1920-an,
setelah disebarkan di Jawa Barat oleh seorang ulama pengembara kelahiran
Makkah, Ali bin Abdullah at-Tayyib al-Azhari, yang telah menerima ijazah untuk
mengajarkan tarekat ini dari dua orang syekh yang berbeda. Dan, pada
tahun-tahun berikutnya, beberapa orang Indonesia yang belajar di Makkah
menerima bai'at untuk menjadi pengikut Tarekat Tijaniyah dan mendapat ijazah
untuk mengajar dari para guru yang masih aktif di sana. Ini terjadi setelah
serbuan Wahabi kedua terhadap Makkah pada tahun 1824, dan kebanyakan tarekat
lain tidak dapat lagi menyebarkan ajaran pengkultusan terhadap para wali,
tampaknya masih dapat ditolelir.Di Indonesia, Tijaniyah ditentang keras oleh
tarekat-tarekat lain. Gugatan keras dari kalangan ulama tarekat itu dipicu oleh
pernyataan bahwa para pengikut Tarekat Tijaniyah beserta keturunannya sampai
tujuh generasi akan memperlakukan secara khusus pada hari kiamat, dan bahwa
pahala yang diperoleh dari pembacaan Shalawat Fatih, sama dengan membaca
seluruh al-Quran sebanyak 1000 kali. Lebih dari itu, para pengikut Tarekat
Tijaniyah diminta untuk melepaskan afiliasinya dengan para guru tarekat lain,
yang dalam pandangan syekh pesaingnya dianggap sebagai praktik bisnis yang
culas. Meski demikian, tarekat ini terus berkembang, utamanya di Cirebon dan
Garut (Jawa Barat), Madura dan ujung Timur pulau Jawa sebagai pusat
peredarannya. Penentangan ini baru mereda ketika Jam'iyyah Ahlith-Thariqah An-Nahdliyyah
menetapkan keputusan setelah memeriksa wirid dan wadzifah tarekat ini. Dan
tanpa memberikan pernyataan-pernyataan ekstremnya tarekat ini bukanlah tarekat
sesat, karena amalan-amalannya sesuai ajaran Islam. Sepanjang tahun 80-an
tarekat ini ngalami perkembangan yang sangat pesat, terutama di Jawa Timur.
Respons terhadap perkembangan yang dicapai tarekat ini menyebabkan pecahnya
kembali konflik dengan para guru dari tarekat lain. Akar konflik ini lebih
tertuju kepada persaingan keras untuk mendapatkan murid dan perasaan sakit hati
di kalangan sebagian guru yang kehilangan banyak murid berpindah ke Tarekat
Tijaniyah. Kepindahan murid-murid dari tarekat lain ke Tarekat Tijaniyah ini
berarti hilang pula murid-murid dari tarekat lain. Karena Tarekat Tijaniyah
sama sekali tidak membolehkan para pengikutinya untuk berafiliasi lagi kepada
syekh tarekat yang dianut sebelumnya.*** SalahuddinAjaran dan Dzikir Tarekat
TijaniyahSejauh ini at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang
diajarkan dalam tarekatnya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam
bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma'ani wa Biligh
al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma'a
at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua
kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan
dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat
Tijaniyah pada abad ke-19.Meskipun at-Tijani menentang keras pemujaan terhadap
wali pada upacara peringatan haii tertentu dan bersimpati kepada gerakan
reformis kaum Wahabi, tetapi dia sendiri tidak menafikan perlunya wali
(perantara) tersebut. At-Tijani sangat menekankan perlunya perantara (wali)
antara Tuhan dan manusia, yang berperan sebagai wali zaman. Oleh karena itu,
buku panduan Tijani kalimatnya dimulai dengan, "Segala puji bagi Allah
yang telah memberikan sarana kepada segala sesuatu dan menjadikan sang Syekh
perantara sarana untuk manunggal dengan Allah". Dalam hal ini, perantara
itu tak lain adalah dia sendiri dan penerusnya. Dan sebagaimana tarekat-tarekat
lain, tarekat ini juga menganjurkan agar anggota-anggotanya mengamalkan ajaran
dengan menggambarkan wajah syekh tersebut dalam ingatan mereka, dan mengikuti seluruh
nasehat syekh dengan tenang.Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat
sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar,
Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh
dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya
terdiri dari Istghfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa hua al
hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli 'ala
sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir
al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa'ala alihi haqqaqadruhu
wa miqdaruh al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak
100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali. Pembacaan
wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan
malam hari, tetapi lebih afdlal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap
hari Jum'at membaca Hayhalah, yang terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah,
setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam hal dzikir ini at-Tijani
menekankan dzikir cepat secara berjamaah. Beberapa syarat yang ditekankan
tarekat ini untuk prosesi pembacaan wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan,
pakaian dan tempat, menutup aurat, tidak boleh berbicara, berniat yang tegas,
serta menghadap kiblat.Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Tarekat
Tijaniyah -- yang membedakannya dengan tarekat-tarekat lain -- adalah bahwa
tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat Idrisiyyah, lebih menitikberatkan
pada kesatuan dengan ruh Nabi SAW, bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana
merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena
itu, anggota tarekat ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan
At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah, termanya merujuk
langsung kepada nama Nabi SAW. Akibatnya, jelas tarekat ini telah memunculkan
implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak terhadap asketisme
dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali
dalam praktik mereka yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat,
dan penolakan atas ajaran esoterik, terutama ekstatikdan metafisis sufi.
Berikut petikan dari kitab As-sirr al-Abhar Ahmad at-Tijani yang menyangkut
berbagai tata tertib, aturan dan dzikir dalam tarekat ini:"Anda haruslah
seorang muslim dewasa untuk melaksanakan awrad, sebab hal (awrad) itu adalah
karya Tuhannya manusia. Anda harus meminta izin kepada orang tua sebelum
mengambil thariqah, sebab ini adalah salah satu sarana untuk wushul kepada
Allah. Anda harus mencari seseorang yang telah memiliki izin murni untuk
mentasbihkan Anda ke dalam awrad, supaya Anda dapat behubungan baik dengan
Allah.Anda sebaiknya terhindar sepenuhnya dari awrad lain manapun selain awrad
dari Syekh Anda, sebab Tuhan tidak menciptakan dua hati di dalam diri Anda.
Jangan mengunjungi wali manapun, yang masih hidup maupun yang sudah meninggal,
sebab tidak seorang pun dapat melayani dua mursyid sekaligus. Anda harus disiplin
dan menjalankan shalat lima waktu dalam jamaah dan disiplin dalam menjalankan
ketentuan-ketentuan syari'at, sebab semua itu telah ditetapkan oleh makhluk
terbaik (Nabi SAW). Anda harus mencintai Syekh dan khalifahnya selama hidup
Anda, sebab bagi makhluk biasa cinta semacam itu adalah sarana untuk
kemanunggalan: dan jangan berfikir bahwa Anda mampu menjaga diri Anda sendiri
dari Kreativitas Tuhan Semesta, sebab ini adalah salah satu ciri dari
kegagalan. Anda dilarang untuk memfitnah, atau menimbulkan permusuhan terhadap
Syekh Anda, sebab hal itu akan membawa kerusakan pada diri Anda. Anda dilarang
berhenti untuk melantunkan awrad selama hidup Anda, sebab awrad itu mengandung
misteri-misteri Sang Pencipta. Anda harus yakin bahwa Syekh mengatakan kepada
Anda tentang kebijakan-kebijakan, sebab itu semua termasuk ucapan-ucapan Tuhan
Yang Awal dan Yang Akhir. Anda dilarang mengkritik segala sesuatu yang tampak
aneh dalam thariqah ini, atau Penguasa Yang Adil akan mencabut Anda dari
kebijak-kebijakan.Jangan melantunkan wirid Syekh kecuali sesudah mendapat izin
dan menjalani pentasbihan (talqin) yang selayaknya, sebab itu keluar dalam
bentuk ujaran yang lugu. Berkumpullah bersama untuk wadhifah dan dzikir Jum'at
dengan persaudaraan, sebab itu adalah penjagaan terhadap muslihat syetan. Anda
dilarang membaca Jauharat al-Kamal kecuali dalam keadaan suci dari hadats,
sebab Nabi SAW akan hadir dalam pembacaan ketujuh. Jangan menginterupsi
(pelantunan yang dilakukan oleh) siapa pun, khususnya oleh sesama sufi, sebab
interupsi semacam itu adalah cara-cara syetan. Jangan kendur dalam wirid Anda,
dan jangan pula menundanya dengan dalih apa pun atau yang lain, sebab hukuman
akan jatuh kepada orang yang mengambil wirid lantas meninggalkan sama sekali
atau melupakannya, dan dia akan menjadi hancur. Jangan pergi dan mengalihkan
awrad tanpa izin yang layak untuk malakukan itu, sebab orang yang melakukan hal
itu dan tidak bertaubat niscaya akan sampai kepada kejahatan dan kesengsaraan
akan menimpanya. Anda dilarang memberitahukan wirid kepada orang lain kecuali
saudara Anda dalam thariqah, sebab itu adalah salah satu pokok etika sains
spiritual".Setiap tarekat memiliki satu atau lebih doa kekuatan khusus,
misalnya Hizb al-Bahr milik Tarekat Syadziliyah, Subhan ad-Daim Isawiyah, Wirid
as-Sattar milik Khalwatiyah, Awrad Fathiyyah milik Hamadaniyyah, dan lain-lain.
Ciri khusu dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan milik penuh tarekat ini
adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal. Mengenai Shalawat Fatih, at-Tijani
mengatakan bahwa dirinya telah memperintahkan untuk mengucapkan doa-doa ini
oleh Nabi SAW sendiri. Meskipun pendek, doa itu dianggap mengandung kebaikan
dalam delapan jenis: orang yang membaca sekali, dijamin akan menerima
kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca sekali akan dapat menghapus semua dosa
dan setara dengan 6000 kali semua doa untuk memuji kemuliaan Tuhan, semua
dzikir dan doa, yang pendek maupun yang panjang, yang pernah dibaca di alam
raya. Orang yang membacanya 10 kali, akan memperoleh pahala yang lebih besar
dibanding yang patut diterima oleh sang wali yang hidup selama 10 ribu tahun
tetapi tidak pernah mengucapkannya. Mengucapkannya sekali setara dengan doa
seluruh malaikat, manusia, jin sejak awal penciptaan mereka sampai masa ketika
doa tersebut diucapkan, dan mengucapkannya untuk yang kedua kali adalah sama
dengannya (yaitu setara dengan pahala dari yang pertama) ditambah dengan pahala
dari yang pertama dan yang kedua, dan seterusnya.Tentang Jauharat al-Kamal,
yang juga diajarkan oleh Nabi SAW sendiri kepada at-Tijani, para anggota
tarekat ini meyakini bahwa selama pembacaan ketujuh Jauharat al-Kamal, asalkan
ritual telah dilakukan sebagaimana mestinya, Nabi SAW beserta keempat sahabat
atau khalifah Islam hadir memberikan kesaksian pembacaan itu. Wafatnya Nabi SAW
tidaklah menjadi tirai yang menghalangi untuk selalu hadir dan dekat kepada
mereka. Bagi at-Tijani dan anggota tarekatnya, tidak ada yang aneh dalam hal
kedekatan ini. Sebab wafatnya Nabi SAW hanya mengandung arti bahwa dia tidak
lagi dapat dilihat oleh semua manusia, meskipun dia tetap mempertahankan
penampilannya sebelum dia wafat dan tetap ada di mana-mana: dan dia muncul
dalam impian atau di siang hari di hadapan orang yang disukainya.Akan tetapi
kaum muslim ortodoks membantah penyataan Ahmad Tijani dan para pengikutnya yang
menyangkut pengajaran Nabi SAW ini kepadanya. Sebab jika Nabi SAW secara
pribadi mengajari at-Tijani rumusan-rumusan doa tertentu maka itu berarti bahwa
Muhammad telah "wafat" tanpa menyampaikan secara sempurna pesan
kenabiannya, dan mempercayai hal ini sama dengan tindak kekafiran, kufr.Tentu
saja, alasan kaum muslim ortodoks ini masih bisa diperdebatkan, misalnya tanpa
bermaksud membela tarekat ini dengan mempertanyakan kembali, apakah betul
pengajaran Nabi SAW melalui mimpi itu berarti mengurangi kesempurnaan
kenabiannya? Bukankah substansi dari pengajaran itu lebih tertuju kepada
perintah bershalawat yang masih dalam bingkai pesan kenabian (syari'at), dan
bukan merupakan hal yang baru? Bukankah Nabi SAW pernah bersabda bahwa mimpi
seorang mukmin seperempat puluh enam dari kenabian? Menyangkut pahala
pembacaannya, bukankah rahmat dan anugerah Allah yang tak terhingga akan
tercurahkan kepada umat Islam yang senantiasa mewiridkan shalawat kepada sang
hamba paripurna, kekasih dan pujaan-Nya, Muhammad Rasulullah SAW
Nama Syekh Ahmad al-Tijani (1150-1230 H, 1737-1815 M) dikenal di dunia Islam
melalui ajaran thariqat yang dikembangkannya yakni Thariqat Tijaniyah. Untuk
mengetahui kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani, penulis menelusurinya melalui
Kitab-kitab yang memuat kehidupan dan ajaran Syekh Ahmad al-Tijani terutama
kitab-kitab yang di tulis Khalifah Syekh Ahmad al-Tijani diantaranya kitab
Jawahir al-Ma`ani (Mutiara-mutiara Ilmu). tulisan Syekh Ali Harazim.
Dalam kitab-kitab yang menulis kehidupan Syekh Ahmad al-Tijani, disepakati
bahwa Syekh Ahmad al-Tijani, dilahirkan pada tahun 1150 H. (1737 M.) di `Ain
Madi, sebuah desa di Al-jazair. Mengenai tanggal kelahirannya sampai sekarang
belum diketahui secara pasti. Secara geneologis Syekh Ahmad al-Tijani memiliki
nasab sampai kepada Rasulullah saw. lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Mukhtar Ibn Ahmab Ibn Muhammad Ibn Salam Ibn Abi al-Id Ibn Salim
Ibn Ahmad al-`Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Abbas Ibn Abd Jabbar Ibn Idris Ibn
Ishak Ibn Zainal Abidin Ibn Ahmad Ibn Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah Ibn Abdullah
al-Kamil Ibn Hasan al-Musana Ibn Hasan al-Sibti Ibn Ali Ibn Abi Thalib, dari
Sayyidah Fatimah al-Zahra putri Rasuluullah saw.
Nama al-Tijani diambil dari suku Tijanah yaitu suatu suku yang hidup di sekitar
Tilimsan, Aljazair; dari pihak ibu, dan Syekh Ahmad al-Tijani berasal dari suku
tersebut. Keluarga Syekh Ahmad Al-Tijani adalah keluarga yang dibentuk dengan
tradisi taat beragama. Dikatakan, bahwa ayah Syekh Ahmad al-Tijani adalah
seorang ulama yang disiplin menjalankan ajaran agama. Ketika Syekh Ahmad
al-Tijani memasuki usia balig dinikahkan oleh ayahnya. Sejak usia berapa tahun
beliau menikah? Dalam kitab-kitan yang menulis riwayat hidup Syekh Ahmad
al-Tijani tidak dijelaskan. Namun apabila dihubungkan dengan tahun meninggal
kedua orang tuanya, mereka meninggal berturut-turut pada tahun yang sama yakni
tahun 1166 H. Diduga beliau nikah antara usia 15-16 tahun, sebab beliau lahir
pada tahun 1150 H. Dari hasil pernikahannya beliau mempunyai dua orang putra
yakni Muhammad al-Habib dan Muhammad al-Kabir yang kelak secara berturut-turut
memimpin zawiyah (pesantren Sufi yang beliau dirikan).
Mengenai tempat meninggalnya, dalam kitab-kitab yang menulis Syekh Ahmad
al-Tijani, disepakati bahwa beliau wafat di kota Fez Maroko. Hal ini bisa
dimengerti karena sebagaimana akan dilihat nanti, di kota ini Syekh Ahmad al-Tijani
mempunyai kesempatan untuk mengembangkan ajarannya dengan dukungan penguasa.
Dengan demikian tidak ada alasan bagi beliau untuk meninggalkan Maroko.
Sebagaimana tempat wafatnya, tahun wafatnyapun disepakati, yakni beliau wafat
pada tahun 1230 H., dengan demikian beliau wafat dalam usia 80 tahun, karena
beliau lahir pada tahun 1150 H. Demikian juga mengenai hari dan tanggal
wafatnya, disepakati bahwa beliau wafat pada hari Kamis, tanggal 17 Syawal dan
dimakamkan di kota Fez Maroko.
Oleh Dr. KH. Ikyan Badruzzaman
Semenjak awal kehadirannya ke Indonesia, Thariqat Tijaniyah ini mendapat
tantangan dari para ahli thariqat yang lain (non-Tijaniyah) yang cukup keras
sehingga menimbulkan pertentangan diantara para ahli thariqat di Indonesia.
Pertentangan dilakukan dengan berbagai cara. Pertentangan itu timbul karena
adanya anggapan dari para penentang bahwa di dalam Thariqat Tijaniyah terdapat
kejanggalan-kejanggalan. Pada tahun 1928 –1931 pertentangan terjadi dalam
bentuk pamflet-pamflet yang berisikan tuduhan-tuduhan para penentang. Dan
mereka mendapatkan rujukan ulama dari Madinah, Sayyid Abdullah Dahlan.
Pada tahun 1930 terjadi perselisihan antara pesantren Buntet, pusat Tijaniyah,
dengan Pesantren Benda Kerep, anti Tijaniyah –yang sebenarnya keduanya masih
mempunyai hubungan keluarga. Pada tahun yang sama, Syekh Ahmad Ganaim, guru
dari Mesir datang ke pesantren Tebu Ireng Jombang, Jawa Timur. Dalam
kedatangannya ini, ia menyerang Thariqat Tijaniyah dengan alasan bahwa penyebar
Tijaniyah menjamin para pengikutnya masuk surga. Pertentangan terhadap
Tijaniyah juga diungkapkan melalui penulisan kitab-kitab sanggahan. Misalnya,
Sayyid Abdullah Dahlan menulis kitab sanggahan Tanbih al-Ghafil wa Irsyad
al-Mustafid al-Aqil, yang kemudian diringkas menjadi kitab Wudluh ad-Dala’il:
Muhammad al-Hilali menulis kitab al-Hidayah al-Hadiyah Li al-Tha’ifah
al-Tijaniyah, yang berisikan hampir sama dengan kitab sanggahan Sayyid Abdullah
Dahlan. Sayyid Abdullah Dahlan menyanggah beberapa masalah dalam Thariqat
Tijaniyah. Secara umum ia mengatakan bahwa dalam Thariqat Tijaniyah terdapat
banyak kejanggalan dan bertentangan dengan syari’at Islam. Muhammad Al-Hilal,
dalam kitabnya al-Hidayah al-hadiyah,….., dan Ali Dakhilullah dalam kitabnya
al-Tijaniyat mengupas kritikan yang hampir sama dengan Sayyid Abdullah Dahlan.
Pertentangan tentang Thariqat Tijaniyah pernah dibahas dalam forum NU dan
seminar Thariqat Tijaniyah di Cirebon. NU pernah membahas Thariqat Tijaniyah
dalam dua kali muktamarnya: Muktamar III dan VI. Muktamar III memutuskan
keabsahan (kemu’tabaran) Thariqat Tijaniyah dan muktamar VI menguatkan hasil
keputusan muktamar III. Hasil keputusan kedua Muktamar itu menetapkan bahwa (1)
Thariqat Tijaniyah mempunyai sanad Muttasil kepada Rasulullah saw., bersama
bai’ah barzakhiyah-nya.(2) dapat dianggap sebagai thariqat yang sah dalam
Islam,
Polemik ini sengaja disajikan, untuk lebih melihat bagaimana kehadiran Thariqat
Tijaniyah di Indonesia.
Mengapa Terjadi Polemik
Masalah yang terpenting dalam beberapa sanggahan terhadap Thariqat Tijaniyah
adalah tentang : keunggulan maqam kewalian Syekh Ahmad al-Tijani, keistimewaan
Thariqat Tijaniyah, dan keistimewaan pengamal Tijaniyah.
Dalam melihat tiga hal di atas, ada beberapa kelemahan dari para penentang
Thariqat Tijaniyah Kelemahan dimaksud adalah : (1) Tidak tuntasnya mereka dalam
membaca dan memahami ungkapan-ungkapan Syekh Ahmad al-Tijani dan ajaran
Tijaniyah, (2) Pemahaman mereka terhadap pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad
al-tijani lebih bersifat tekstual, sedangkan kalimat-kalimat ungkapan Syekh
Ahmad al-Tijani banyak yang harus difahami berdasarkan pendekatan kontekstual,
dan (3) mereka penentang Tijaniyah tidak mempelajari langsung dari guru-guru
Tijaniyah, tetapi mereka mempelajarinya melalui pemahamannya sendiri sehingga
penafsiran pemikiran mereka yang dominan lebih cenderung kurang relevan,
menjadi subjektif dan bias. Tiga kelemahan para penentang dalam melihat
Thariqat Tijaniyah sebagaimana disebutkan, memunculkan polemik. Sampai sekarang
pertentangan dalam Thariqat Tijaniyah belum berakhir terutama melalui buku-buku
yang diterbitkan dari Kerajaan Saudi Arabia, yang diikuti oleh majalah
al-Risalah yang terbit di Solo.
Penyelesaian Polemik
Untuk dapat mengikuti dan atau memahami dengan baik dan benar mengenai
persoalan tadi, ada tahapan-tahapan pemikiran yang harus dilalui. Lantaran
penilaian, pengertian dan pemahaman yang didapat dari tahapan pemikiran akan
menjadi pintu masuk dalam memahami pernyataan dan fatwa-fatwa Syekh Ahmad
al-Tijani, tahapan dimaksud adalah :
Tahapan pertama, pemahaman tentang al-Haqiqat al-Muhammadiyah dan atau masyrab
al-Nabawi yang melekat dalam diri Khatm al-Nabiyyin yakni Nabi Muhammad saw.,
sebagai sumber kenabian seluruh para nabi. Seluruh para nabi sejak Nabi Adam
as., hingga Nabi Isa as., mengambil cahaya kenabian dari Nabi Muhammad saw.
Oleh karena itu seluruh nabi hanyalah melakukan peran kenabian Nabi Muhammad
saw., sebelum lahirnya jasad beliau. Berdasarkan hadis “kuntu Nabiyyan wa Adamu
Bain al-Mai’ wa al-Thin”.
Tahapan ini perlu dipahami terlebih dahulu sebagai bahan perbandingan memahami
khatm al-Wilayah. Tahapan berikutnya memahami dan meyakini tentang khatm
al-Wilayah dan atau masyrab kewalian yang melekat dalam diri seorang wali yang
memperoleh maqam wali khatm, sebagai sumber kewalian seluruh wali-wali Allah.
Seluruh wali-wali Allah sejak Nabi Adam hingga akhir zaman mengambil cahaya
kewalian dari wali khatm ini, oleh karena itu seluruh wali hanya melakukan
peran kewalian seorang wali yang memperoleh maqam wali khatm; yang menurut Ibn
Arabi “… wa kadzalika khatm al-Awliya kana waliyyan wa Adamu bain al-Mai’ wa
al-Thin”. Tahapan pemikiran ini merupakan hal yang sangat mendasar untuk bisa
memasuki dan memahami pernyataan-pernyataan seorang wali yang memperoleh maqam
wali khatm. Apabila pada dataran ini belum dipahami, maka sangat sulit untuk
bisa memahami pemikiran dan pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani sebagai wali yang
mengaku memperoleh maqam wali khatm. Sebab pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad
al-Tijani yang terkait dengan keunggulan dirinya muncul dalam kapasitasnya
sebagai wali khatm. Keunggulan yang melekat dan dimiliki syekh Ahmad al-Tijani
sebagai wali khatm mengantarkan pada keunggulan ajaran thariqatnya, yakni Thariqat
Tijaniyah. Keunggulan ajaran Thariqat Tijaniyah yang diajarkan wali khatm
mengantarkan keunggulan ummat Islam yang mengikuti ajarannya.
Dengan demikian pemahaman dan penerimaan terhadap pengakuan Syekh Ahmad
al-Tijani tentang maqam kewaliannya merupakan syarat mutlak untuk bisa memahami
terhadap pernyataan-pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani, baik tentang dirinya,
ajaran thariqat dan pengikutnya. Oleh karena itu sepanjang teori kewalian
khususnya teori wali khatm belum diterima, terlebih pengakuan Syekh Ahmad
al-Tijani terhadap maqam ini, selama itu pula Thariqat Tijaniyah akan terus
dipermasalahkan dan tidak akan ada ujungnya. Namun apabila ada kelompok ummat
Islam yang memahami wali khatm sekaligus menerima dan meyakini terhadap
pengakuan Syekh Ahmad al-Tijani terhadap maqam wali ini, hemat saya tidak ada
yang perlu dipersoalkan, karena persoalan tersebut merupakan hak intelektual
seseorang dalam mengimani masalah kewalian sebagai mana paparan al-Qur’an dan
hadis.
Sungguhpun demikian dalam penyelesaian polemik tentang Thariqat Tijaniyah tidak
sederhana, sebab pembahasan al-Haqiqat al-Muhammadiyah dan Khatm al-Wilayah
termasuk pada wilayah pemikiran dan ummat Islam khususnya kaum tarekat yang
mempunyai kemauan dan kemampuan memasuki wilayah ini sangat terbatas,
keterbatasan ummat Islam khususnya pengikut tarekat wali Allah dalam memahami
wali ini akan melihat bahwa pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani tentang wali khatm
dianggap asing dan akan semakin mengagetkan apabila dihadapkan dengan pengakuan
Syekh Ahmad al-Tijani, yakni tentang keunggulan dirinya, thariqat dan muridnya
dan akan muncul kebingungan ketika lebih banyak melihat pernyataan Syekh Ahmad
al-Tijani.
Oleh karena itu sepanjang ummat Islam khususnya kaum tarekat belum mamahami
apalagi menerima dan taslim terhadap penagakuan Syekh Ahmad al-Tijani, terhadap
wali khatm, selamanya akan terus bertabrakan dan atau bersebrangan dengan
pernyataan Syekh Ahmad al-Tijani tentang wali khatm. Dan mereka akan menganggap
sebuah hal yang aneh kelompok ini tidak akan aman dari mengkritik terhadap
Syekh Ahmad al-Tijani. Disarankan kepada intelektual Thariqat Tijaniyah yang
menggeluti dunia keilmuan untuk lebih banyak mengkaji dan mensosialisasikan
teori wali Khatm. Hal ini bisa dilakukan melalui hal-hal berikut : pertama memasukan
teori kewalian menjadi Silabi Mata Kuliah Tasawuf; kedua, menyelenggarakan
seminar tentang teori kenabian dan teori kewalian diluar kalangan ahli
Tijaniyah, terutama dikalangan Perguruan Tinggi; ketiga mengembangkan pusat
kajian tasawuf yang berkedudukan di Jakarta.
Hal ini diharapkan untuk lebih bisa menyelesaikan masalah Thariqat Tijaniyah
secara bertahap, khususnya yang berkembang di Indonesia. Sebab hemat saya
penyelesaian masalah Thariqat Tijaniyah, mesti dilakukan melalui pendekatan
ilmiyah, melalui kajian tasawuf terutama teori kenabian dan kewalian. Sebab ada
hal yang menarik dari Syekh Ahmad al-Tijani, beliau menggabungkan dua sisi dari
tasawuf yang berkembang dalam sejarah Pemikiran Islam yakni tasawuf amali dan
tasawuf falsafi. Sungguhpun secara amaliyah, hemat penulis Thariqat Tijaniyah
dengan wirid istighfar, shalawat, dan dzikirnya merupakan hal yang disepakati
oleh seluruh ummat Islam bahwa wirid tersebut merupakan amalan yang
diperintahkan oleh Qur’an dan hadis. Persoalan ajaran Thariqat Tijaniyah tidak
hanya sampai disitu melainkan menembus memasuki wilayah tasawuf falsafi
terutama menyangkut hakekat nabi Muhammad saw., dan wali khatm. Hal ini hanya
akan bisa diselesaikan melalui pendalaman tentang teori kenabian dan kewalian.
Demikianlah setitik pokok-pokok pikiran untuk bahan diskusi pada forum yang
mulia ini, semoga mendorong kita untuk memahami lebih jauh tentang keagungan
Syekh Ahmad al-Tijani dan keuntungan murid Syekh Ahmad al-Tijani Ra. Amin
Oleh Dr. KH. Ikyan
Badruzzaman
Kelahiran Thariqat Tijaniyah berkait erat dengan kedudukan Syekh Ahmad
al-Tijani sebagai wali al-Quthb al-Maktum, al-Khatm al-Muhammadiyyil Ma’lum;
sebagai telah dikatakan dicapai melalui proses panjang dalam penempaan derajat
kewalian. Sebelum diangkat secara resmi sebagai wali besar, sebagaimana telah
dikatakan sejak usia 7 tahun telah hafal al-Qur’an kemudian sampai usia 20
tahun beliau mendalami berbagai cabang ilmu seperti : Ilmu Usul, ilmu Furu’ dan
ilmu Adab. Kemudian mulai usia 21 tahun sampai 31 tahun beliau mendalami
teori-teori ilmu tasawuf dan mengamalkan ajaran-ajaran sufi dan dari usia 31
tahun sampai 46 tahun beliau melakukan disiplin ibadah membersihkan jiwa
tenggelam mengamalkan amalan wali-wali. Dibarengi kunjungan kepada para wali
besar di berbagai belahan daerah di Tunisia, Mesir, Makkah, Madinah, Maroko,
Fez, dan Abi Samgun. Kunjungan kepada wali besar itu dalam upaya silaturrahmi
dan mencari ilmu-ilmu kewalian secara lebih luas. Pada saat itu pula para wali
besar, sebagaimana telah dikatakan melihat dan mengakui bahwa Syekh Ahmad
al-Tijani adalah wali besar bahkan lebih besar derajatnya dari yang lain. Kesaksian
para wali besar atas derajat kewalian Syekh Ahmad al-Tijani yang tinggi diakui
dan disaksikan dihadapan Syekh Ahmad al-Tijani. Ungkapan kesaksian demikian
bisa terjadi, karena di dunia sufi diakui bahwa seorang wali bisa melihat wali,
derajat kewalian hanya bisa diketahui oleh sesama wali, yang Hakekatnya berasal
dari Allah swt. Derajat wali semata karena Allah, anugerah dari Allah, tidak
bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah, apabila seorang wali dengan ilmu
ma’rifahnya dan atas anugerahnya bisa mengetahui derajat sesama wali.
Proses panjang ilmu-ilmu kewalian, melalui perjalanan panjang kunjungan Syekh
Ahmad al-Tijani kepada kepada pembesar wali, dengan kesaksian-kesaksiannya,
berakhir di Padang Sahara, daerah tempat wali besar Abu Samghun. Pada tahun
1196 H., beliau pergi ke Sahara tempat Abu Samgun. Di tempat inilah (Pada tahun
1196 H.) Syekh Ahmad al-Tijani mencapai anugerah dari Allah, yaitu الفتحالأكبر “(pembukaan besar)”.
Pada saat al-Fath al-Akbar ini Syekh Ahmad al-Tijani mengaku, berjumpa dengan
Rasulullah saw., melihat Rasulullah saw., secara يقظة “(dalam keadaan
sadar lahir batin)”, bukan dalam keadaan mimpi. Saat demikian menjadi momentum
yang penting dan menentukan bagi Syekh Ahmad al-Tijani, pada saat al-Fath
al-Akbar ini Syekh Ahmad al-Tijani mendapat talqin (pengajaran) tentang
wirid-wirid dari Rasulullah saw., berupa Istighfar 100 kali, dan Shalawat 100
kali. Empat tahun kemudian (pada tahun 1200 H.) wirid itu disempurnakan lagi
oleh Rasulullah saw., dengan hailallah (La Ilaha Illa Allah) 100 kali.
Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah saw., melalui al-Fath,
perjumpaan secara yaqzhah ini memberikan kepada Syekh Ahmad al-Tijani otoritas
sebagai Shahib al-Thariqah.
Sebagaimana telah dijelaskan, pada saat talqin, Rasulullah saw., juga
menjelaskan ketinggian derajat dan kedudukan wirid yang diajarkan kepada Syekh
Ahmad al-Tijani. Karena kedudukan dan derajat ajaran wiridnya yang sangat
tinggi, Rasulullah saw. memerintahkan kepada Syekh Ahmad al-Tijani agar hanya
berkonsentrasi pada pengamalan wirid itu, meninggalkan wirid-wirid yang lain,
dan juga meninggalkan para wali yang lain. hal ini menunjukan jaminan
Rasulullah saw., atas keunggulan wirid tersebut, atas wirid-wirid yang lain,
dan jaminan Rasulullah saw., menjadi pembimbing, penanggung jawab, dan
sekaligus perantara dihadapan Allah sebab, menurut Ali Harazim, melalui
Rasulullah saw., segala sesuatu diturunkan dari Allah swt. Perintah
meninggalkan thariqat dan wali yang lain disebabkan oleh kedudukan Syekh Ahmad
al-Tijani yang tinggi, sebagaimana telah dijelaskan. Atas jaminan-jaminan
demikian, mulailah Syekh Ahmad al-Tijani mengajarkan thariqatnya kepada setiap
ummat Islam yang berminat.
Sistem Dasar Pembentukan Thariqat Tijaniyah
Menurut Syekh al-Sya’rani, sebagaimana dikutip oleh Ali Harazim, ajaran
thariqat kaum sufi berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, serta berasal
dari metode suluk yang dipraktikan oleh Rasulullah saw. Dari landasan ini, unsur
sanad (silsilah) yaitu urutan-urutan guru secara berkesinambungan sampai kepada
Rasulullah saw., sangat penting dalam thariqat. Idealnya, setiap guru dalam
sanad bertemu langsung dengan guru di atas dan seterusnya sampai sumber utama
Rasulullah saw. Namun dalam kenyataannya tidak semua talqin thariqat
menggunakan sanad demikian sebab ada talqin yang disampaikan langsung antara
syekh Thariqat dengan Rasulullah saw. Setelah Rasulullah saw., meninggal dunia,
sistem demikian biasa dinamakan sistem “Barzakhi”.
Bimbingan Rasulullah saw., kepada para wali dalam keadaan jaga mengantarkan
pada satu pemahaman bahwa amalan wirid para wali termasuk didalamnya amalan
thariqat muncul sebagai buah mujahadahnya dan hal ini merupakan anugerah Allah
swt. Oleh karena itu menurut KH. Badruzzaman banyak thariqat para wali dasar
pembentukannya melalui talqin barzakhi. Untuk itu ia menyebutnya sebagai
thariqat Barzakhiyah artinya amalan yang diterima dari Nabi Muhammad saw.,
setelah beliau meninggal dunia. Selanjutnya dikatakan bahwa semua amalan
thariqat besar yang berkembang di dunia Islam terbentuk melalui talqin barzakhi
kecuali thariqat Qadiriyah, karena sanad thariqat ini bersambung kepada
Rasulullah saw. melalui Sayyidina Ali Kw.
Thariqat Tijaniyah termasuk thariqat yang dasar pembentukannya menggunakan
sistem barzakhi. Makna barzakhi dalam Thariqat Tijaniyah, sebagaimana
tergambarkan dalam proses pembentukannya, bahwa ajaran-ajaran itu tidak
diperoleh melalui pengajaran dari guru-guru sebelumnya, tetapi diperoleh langsung
oleh Syekh Ahmad al-Tijani dari Rasulullah saw., dalam perjumpaan secara
yaqzhah. Pejumpaan dengan melihat Rasulullah saw., walaupun telah berada di
alam barzakh, yang dialami oleh Syekh Ahmad al-Tijani, adalah peristiwa yang
menurut tradisi thariqat, merupakan hal yang biasa dan bisa terjadi terutama
dialami oleh wali-wali besar.
Bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan jaga merupakan bagian dari kekaramatan
wali. Dan karamah seperti inilah yang senantiasa diharapkan dan dicita-citakan
oleh para wali Allah swt. Sebab berjumpa dengan Rasulullah saw., dan melihatnya
dengan yaqzhah (dalam keadaan jaga) tidak dalam keadaan tidur atau mimpi
menunjukan jaminan maqam kewalian seseorang dari Rasulullah saw., sebagaimana
akan dilihat nanti.
Melihat dasar pembentukan thariqat tijaniyah sebagai mana disebutkan di atas,
bagi orang yang percaya bahwa hal tersebut memang terjadi, berarti mereka sudah
meyakini bahwa Syekh Ahmad al-Tijani memperoleh kedudukan yang tinggi, dan
berarti pula thariqat tijaniyah adalah thariqat yang mempunyai sanad sampai
kepada Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu amalan Thariqat Tijaniyah adalah
amalan Nabi Muhammad Saw.